Senin, 25 Januari 2016

tampilan dan gaya penyanyi rock

Here Comes The Wave



Sudah sejak lama musik rock menjadi salah satu genre musik yang telah mempengaruhi mode, trend, dan lifestyle, terutama di kalangan remaja di Indonesia. Seperti yang terjadi di akhir tahun 90-an dimana serbuan band-band yang disebut Hip Metal atau Modern Metal yang dimotori oleh Korn dan Limp Bizkit berjaya. Gaya para rocker ini bisa dibilang cukup menjamur waktu itu, mulai dari tatanan rambut sampai pakaian. Penampilan vokalis sekaligus front man Korn, Jonathan Davis, dengan rambut gimbalnya sempat menjadi trend terutama bagi mereka-mereka yang ngeband. Jangankan yang ngeband, yang tidak nge-band pun ikut-ikutan bergaya serupa. Tidak punya rambut panjang untuk bisa digimbal? kita bisa ikutan gaya Fred Durstnya Limp Bizkit. Rambut crew cut vokalis yang bandnya terkenal dengan single Nookie waktu itu, sering tersembunyi dibalik topi baseball New York Yankees. Dan serta merta, saat itu banyak yang mengenakan topi baseball. Sampai-sampai, buat yang kesulitan mendapatkan topi baseball yang memang harganya lumayan di mall-mall, bisa membeli di emperan pusat pertokoan. Sementara baju yang dikenakan, tampaknya menjadi awal brand-brand clothing luar negeri yang pada mulanya hanya dikuasai oleh nama-nama lama seperti Billabong dan Quicksilver ramai dipakai. Contohnya clothing Tribal yang kebetulan menjadi salah satu clothing favorit para personil Limp Bizkit. Plus, celana gombrang yang dipakai agak merosot lalu sepatu Adidas Stan Smith atau Adidas Superstar telah menjadi identitas remaja yang nge-rock. Lagu Freak On A Leash-nya Korn atau Rollin’ dari Limp Bizkit, bahkan lagu-lagu Rage Against The Machine juga saat itu mulai menyaingi musik dugem untuk diputar keras-keras di dalam mobil yang dipakai buat keliling kota di malam minggu. Gaya rocknya modern metal tampaknya kurang lengkap kalau tidak bermain skateboard. Ya, extreme sport yang juga sering disebut-sebut sebagai extreme sport-nya anak muda ini waktu itu mulai populer. Apalagi merk-merk pakaian yang dipakai oleh para skater hampir sama dengan merk pakaian yang jadi trend saat itu. Musik, pakaian, skateboard. What a rock!



Meskipun waktu itu dengan cepat gaya rock akhir 90-an yang dipengaruhi band-band modern metal banyak diminati oleh kebanyakan remaja, gaya rock mendapat perlawanan sengit dari gaya musik Rn’B dan Hip Hop termasuk gaya British Pop-nya band-band Inggris atau lebih dikenal dengan gaya Indies. Terbalik dari gaya modern metal dengan pakaian serba gombrang ala Jonathan Davis dan kawan-kawan, gaya Indies lebih identik dengan t-shirt bermodel body-fit dan celana yang jauh dari gombrang. Buat yang menganut gaya Indies, mereka membuat rambut mereka mirip dengan para personil band-band Inggris yang terkenal saat itu seperti Oasis atau Suede dan Pulp yang mempopulerkan gaya trap dengan poni lemparnya. Dan kelihatannya gaya ini lebih cocok di pakai sama mereka-mereka yang punya badan langsing -atau malah langsing banget alias kurus. Mungkin keberadaan gaya rock akhir 90-an ini bernasib sama dengan gaya rock tahun 80-an. Malah di tahun 80-an gaya rock lebih jarang dipakai oleh banyak orang. Rambut gondrongnya Bon Jovi, celana jeans ketat dan sepatu boot koboi telah menjadi gaya rock waktu itu. Untuk lebih jelasnya, kita bisa melihat gaya panggung band rock dalam negeri kita, Seurieus. Di tahun 80-an kebanyakan orang lebih memilih untuk bergaya disco, genre musik yang juga sedang ngetrend saat itu. Mungkin gaya rock yang dipilih adalah gaya Duran Duran, itupun karena gaya mereka tidak jauh dari gaya disco.



Millenium Style

Pengaruh band-band modern metal yang baru seperti Linkin Park, Slip Knot dan band-band bergenre serupa tidak sehebat pengaruh band-band rock yang muncul di tahun 2000-an sekarang. Blink 182 adalah salah satu band yang diawal tahun 2000 menggebrak kancah musik rock sehingga genre Punk Rock yang selama ini sempat terlupakan bangkit lagi. Bahkan pengaruh munculnya band-band yang mengaku bergenre punk-pop seperti Good Charlotte dan Simple Plan kelihatan lebih berpengaruh ketimbang kemunculan band Punk fenomenal Green Day yang berbarengan dengan wabah musik Grunge dan Alternative di tahun 90-an.

Punk Rock yang punya filosofi anti kemapanan dan idealisme yang tinggi dengan cepat mengambil alih trend. banyak orang bahkan mereka yang tidak menyukai musik rock sekalipun. Dahsyatnya lagi, distro yang selama ini juga jadi salah satu ciri khas dalam komunitas Punk sudah jadi salah satu tempat belanja favorit remaja. Disusul kemunculan Garage Rock yang diusung sama band-band seperti Jet, The Datsuns atau The Strokes, memunculkan trend jeans lusuh dengan rambut gondrong berponi. Ada lagi Emo, salah satu genre musik yang juga berakar dari Punk Rock oleh band-band seperti Finch, Funeral For A Friend dan yang lainnya juga ikut meramaikan trend musik Rock dengan mengembalikan model rambut poni lempar. Sangking ngetrendnya gaya rock ini, sampai-sampai Boy Band Busted juga ikut-ikutan bergaya serupa. 
Kamu yang bergaya tanpa spike, rambut poni lempar atau jeans lusuh jadinya dianggap "nggak trendy". Bertato, pearcing dan memakai belt buckle bakal disebut "Metal Banget". Ada juga kejadian perempuan yang ingin punya pacar yang ”rock n’ roll”. Dan ternyata lelaki rock n’ roll yang dia cari adalah artis bergaya rock yang main di salah satu film remaja. Sebagian lagi bukan cuma bergaya, tapi perilaku mereka juga disesuaikan. Diantaranya ikut-ikutan salah satu anggota band peserta Battle Of Ozzfest berambut kuning yang ngomong sambil terus menegak minuman keras dari botolnya sampai tumpah-tumpah di depan kamera TV nasional. Sisanya, ada yang menganggap bahwa rock itu subversif, haram ngomongin cinta.

Saat ini, trend berpakaian ala rock masih mempengaruhi anak muda di Indoensia. Kesuksesan genre emo atau nu rock rupanya membawa pengaruh yang cukup besar karena kemudian, musik metal juga mulai menginvasi telinga remaja sehingga berpengaruh pada trend fashion anak muda. Rambut poni lempar, make up smokey eyes, skinny jeans, baju hitam bergambar dan bertuliskan Arch Enemy hingga Cradle of Filth sekarang cukup mendominasi, padahal sebelumnya genre death metal tidak digandrungi oleh anak muda.



Rock Means Anything

Sebenarnya bila kita benar-benar mengamati para pelaku musik rock, kita tidak akan menemukan atribut yang pantas untuk dilabeli atau identik dengan musik rock itu sendiri. Sebagian besar dari musisinya tampaknya justru lebih memilih untuk berpakaian sesuka mereka atau lebih pantas disebut sebagai pakian yang memang ingin dan nyaman untuk mereka kenakan. 

Refused memilih penampilan seperti band-band pop Inggris. Padahal band Punk/Hardcore asal Swedia ini punya musik yang cukup garang dengan lirik-lirik subversif seperti menentang atau memprotes kebijakan negaranya atau negara-negara barat lain. Tapi mereka tidak tampil dengan spike atau buckle. Coba lihat cowok berpenampilan kutu buku disebelah. Dia tidak pernah memakai pakaian yang mereknya identik dengan musik rock bahkan dia nggak pernah main skateboard. Tapi ternyata dia suka banget ngedengerin Meads Of Asphodel. Coba tanya sama teman kamu yang kamu anggap gayanya rock banget. Dia suka, atau minimal tahu apa itu Meads Of Asphodel atau tidak ?.



Sangat disayangkan kalau musik rock selalu diidentikkan dengan kehidupan yang terlalu bebas dengan moto sex, drugs, rock n’ roll. Sebelumnya sudah sedikit disinggung bahwa Punk Rock memiliki paham yang disebut Straight Edge, salah satu gaya hidup dari komunitas Punk dimana seorang Straight Edge telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengkonsumsi racun-racun atau zat adiktif dalam bentuk apa pun. Mulai dari rokok hingga minuman beralkohol. Yang lebih luar biasa lagi, diantara para Straight Edge ini juga ada yang sampai menjadi vegetarian bahkan vegan (tidak memakan sampai memakai bahan yang dihasilkan dari hewan).
Selain itu sekarang ini kamu bisa melihat banyak band rock yang mengampanyekan betapa berbahayanya AIDS. Masih banyak lagi idealisme yang mempengaruhi komunitas Punk termasuk pandangan mereka terhadap homoseksualitas. Propaghandi adalah salah satu band yang sebagian anggotanya Gay. Mereka bahkan nggak ragu-ragu untuk mengakuinya di dalam lirik-lirik mereka yang sekali lagi cukup subversif. Begitu juga Rob Halford, dalam salah satu wawancara di sebuah majalah rock Inggris, vokalis band metal Judas Priest ini mengaku bahwa dia tertraik terhadap sesama jenis. Label bahwa rock adalah ‘musik laki-laki’ mungkin juga harus dinetralisir, karena musik sendiri bisa didengarkan oleh siapapun dan tidak mengenal gender.



Lalu bagaimana dengan rock yang bercinta? Bukankah banyak musisi rock yang menulis tentang cinta di lirik mereka? Itulah salah satu alasan kenapa Dashboard Confessional jadi salah satu band rock terkeren saat ini. Mungkin untuk hal ini tidak usah dibahas lebih lanjut. Toh banyak yang bergaya atau mungkin memainkan musik rock untuk mendapatkan pasangan. Ya, yang jelas kita semua pasti senang untuk berkreasi dan berekspresi tanpa dikekang. Nggak ada kenikmatan yang senikmat menjadi diri sendiri.

asal usul musik rock di indonesia

Sebut dunia ini sebagai dunia yang tidak pernah sepi selalu berjalan dinamis dan tidak pernah berhenti pada suatu waktu. Dunia yang terwakili oleh tokoh-tokoh simbolis yang senantiasa menyuarakan suara lantang anak-anak muda. Dunia itu adalah dunia rock n’ roll. Istilah ini digunakan dalam bidang musik oleh musik spiritual kulit hitam pada abad ke-19 dengan makna religius dan direkam kali pertamanya pata tahun 1912 oleh grup-grup musik Gospel, ”The Camp Meeting Jubilee”, di perusahaan rekaman Little Wobder Record. Istilah ini juga digunakan oleh musik sekuler kulit hitam dalam beberapa judul lagu seperti Rockin In Rhytem (Duke Ellington 1928), Rock it for me (Chick Webb dan Ella Fritzgerald, 1938), Rock me Mama (big Joe Turner, 1942) I Want to Rock (Cab Calloway, 1942), Rock all Night Long, (The Ravens,1948), dan lain-lainnya. Umumnya istilah ini digunakan sebagai ajakan untuk berdansa, ’to balance, to rool, to spin’, dalam setiap pertunjukan musik mereka, namun sebaliknya kulit putih memandangnya sebagai makna konotatif yang bersifat seksual.
Akan tetapi menurut Paul Hanson, istilah rock pertama kali dicetuskan oleh Wild More pada tahun 1947 dengan menciptakan lagu yang berjudul “We’are Gonna Rock We’are Gonna Roll”. Kemudian pada tahun 1952, Allan Freed seorang disk-jockey sebuah radio di Cleveland (Amerika Serikat) memandu paket acara yang khusus menampilkan lagu-lagu dari penyanyi Gene Vincent, Chuck Berry, dan Elvis Presley dengan memakai nama “Rock and Roll” untuk paket acara tersebut. Dari sinilah kemudian istilah rock ’n roll banyak dikenal oleh masyarakat umum, khususnya masyarakat di Amerika dan Eropa. Alan Freed sebagai disc jokey pada Cleveland Broadcasting tertarik dengan musik jenis baru ini, dan sebagai sebuah uji coba kemudian ia merekam lagu dari musik baru itu. Musik baru ini pun diputar dalam program acara yang diasuhnya.
Di luar dugaan respon pendengar begitu spontan dan pada umumnya mereka menginginkan Freed untuk memutar lagu-lagu lain dari musik rock ’n roll. Selain Alan freed beberapa disc jockey kulit putih mengikuti jejak kesuksesannya dengan memutarkan lagu-lagu rhytem and blues. Para disc jockey tersebut merupakan orang-orang yang turut berperan mendorong munculnya musik rock ‘n roll melalui promosi dan sosialisasi kepada pendengarnya di radio sebelum musik ini meluas melalui industri hiburan.
Sejarah rock ’n roll, seperti yang dijelaskan dalam buku The Sound Of The City yang ditulis oleh Charlie Gillet, dikatakan bahwa kelahiran musik rock ’n roll sebagian besar berkat fenomena menjamurnya indie label dan terobosan pasar yang selama ini diabaikan oleh label besar, seperti Capitol, MGM, Columbia, dan sebagainya. Karena distribusinya yang sempit membuat label independen seringkali berkeliling dari satu kota ke kota lain hanya untuk menyebarluaskan lagu-lagunya ke radio-radio. Stasiun radio yang rela memutar new sounds banyak bermunculan pada dekade 1950-an.
Baru pada pertengahan dekade 1950-an musik yang selanjutnya disebut rock ’n roll ini sukses menjadi bagian penting dalam pasar musik populer. Sebagian besar album rekaman rock ‘n roll awalnya banyak di rilis oleh berbagai label independen. Memang sedikit label-label yang bisa mencetak hits, di antaranya hanya sukses mencetak hits regional namun kontribusinya besar bagi perkembangan musik rock.
Dalam sebuah buku tentang sejarah musik populer yang diterbitkan oleh Ballantine Books, New York 1972, berjudul Populer Music yang ditulis oleh John Rublowsky, dikatakan bahwa musik rock tidak lahir begitu saja, tetapi mengalami proses panjang sebelum dikenal secara luas sebagai salah satu bentuk musik hiburan. Menurut Robert Palmer, dalam tulisannya ”Rock Begins” dalam buku The Rolling Stones Illutrated History of Rock and Roll, musik rock muncul dari perpaduan musik Afrika dan Amerika. Pendapat ini muncul berdasarkan penelitian Alan Lamox dan John Lamox tentang musik spiritual Afro-Amerika di daerah Missisipi, Amerika pada tahun 1934.
Dalam penelitiannya mereka merekam dan menranskrip musik (lagu) spritual tersebut dan kemudian menyebutnya dengan istilah rocking and reeling. Pendapat ini juga didukung oleh Eric Zalman, dalam bukunya Twentieth Century Music an Introduction yang menyatakan bahwa jenis musik rock adalah perkembangan dari musik rakyat Amerika pada dekade 1930-an.
Sementara itu ada beberapa pengamat menyatakan bahwa musik rock adalah perkembangan dari musik blues dan rhytem blues. Musik rock merupakan perpaduan antara musik hitam yang dikenal sebagai Rhytem and Blues dengan musik country, dan hasil dari perpaduan itu kemudian dikenal dengan nama rock ‘n roll. Selain itu juga musik ini merupakan perpaduan antara kesenduan lagu-lagu blues yang ekpresif dengan keterbukaan lagu-lagu country yang dipandu sebagai seni panggung dan didukung oleh berbagai perolehan dalam bidang teknologi peralatan musik.
Salah satu catatan penting dalam perjalanan musik rock mencari identitas dan pengakuan terjadi pada tahun 1954 melalui sebuah kelompok yang menamakan dirinya, The Crows. Tiga buah lagu ciptaannya berhasil mencapai hits atas pilihan para penggemar radio yang terdiri atas kaum kulit hitam dan kulit putih. Rock ’n roll mulai menunjukkan kekuatannya sebagai sebuah warna musik yang mempersatukan generasi secara universal, tanpa peduli apa pun warna kulit penggemarnya. Dominannya jenis musik ini juga terlihat ketika Bill Haley and The Comet menciptakan lagu yang berjudul ”Rock Around The Clock” yang berhasil mencapai rekor penjualan mencapai 15 juta keping kopi piringan hitam yang merupakan jumlah penjualan yang spektakuler di tahun 1954. Jejak Bill Haley and The Comet kemudian diikuti oleh grup-grup dan penyanyi baru yang muncul dengan memainkan musik rock ’n roll.